BKSDA Maluku Lepas Liar 21 Burung Kasturi Ternate ke Alam Liar

Pelepasliaran satwa dilindungi kasturi ternate di Hutan Pulau Morotai Maluku Utara. (BKSDA Maluku)--
DISWAY.ID – Sebanyak 21 ekor burung kasturi ternate (Lorius garrulus morotaianus) resmi dilepasliarkan ke habitat aslinya oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Maluku melalui Seksi Konservasi Wilayah (SKW) I Ternate. Pelepasliaran dilakukan di kawasan hutan Pulau Morotai, Maluku Utara, sebagai langkah nyata pelestarian satwa endemik yang kini kian terancam.
“Burung-burung tersebut merupakan satwa titipan dari Kejaksaan Negeri Pulau Morotai selama proses persidangan berlangsung,” ujar Polisi Kehutanan (Polhut) BKSDA Maluku, Arga Christyan di Ambon, Sabtu 21 Juni 2025.
Aksi ini merupakan bagian dari strategi konservasi BKSDA yang sekaligus mendukung penegakan hukum atas praktik perdagangan satwa liar yang melanggar aturan. Kasturi ternate dikenal sebagai burung khas Maluku Utara yang dilindungi karena populasinya terus menurun akibat perburuan dan jual beli ilegal.
Turut hadir dalam kegiatan ini sejumlah pihak terkait, antara lain Kepala Seksi Pidana Umum (Kasi Pidum) Kejaksaan Negeri Kepulauan Morotai, penyidik Polres Morotai, Sekretaris Desa Daeo Majiko, serta para pemuda dari desa setempat yang ikut menyaksikan proses pelepasliaran.
Burung-burung tersebut sebelumnya telah melalui masa rehabilitasi untuk memulihkan kondisi fisik dan menyesuaikan diri sebelum kembali ke alam bebas. Tahapan ini penting agar burung mampu bertahan hidup dan berkontribusi dalam keseimbangan ekosistem.
Kawasan hutan Morotai dipilih karena dinilai memiliki kondisi ekologis yang ideal, dengan ketersediaan pakan alami serta vegetasi lebat yang cocok untuk tempat bersarang dan berlindung.
BKSDA Maluku menjelaskan bahwa kasturi ternate merupakan spesies yang dilindungi berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1990.
Berdasarkan Pasal 21 ayat (2) huruf a, siapa pun yang dengan sengaja menangkap, melukai, memelihara, hingga memperniagakan satwa dilindungi terancam pidana penjara hingga lima tahun dan denda maksimal Rp100 juta sebagaimana tercantum dalam Pasal 40 ayat (2).
Upaya ini sekaligus menegaskan pentingnya sinergi antara penegak hukum, lembaga konservasi, dan masyarakat dalam menjaga kelestarian fauna langka. Keterlibatan warga Desa Daeo Majiko juga mencerminkan pendekatan konservasi berbasis komunitas, di mana masyarakat lokal dilibatkan langsung dalam aksi nyata penyelamatan lingkungan.
“Lestarikan alam, jaga satwa, selamatkan masa depan,” pungkas Arga, mengajak seluruh pihak untuk turut berperan dalam menjaga kekayaan hayati Indonesia. *
Sumber: