DISWAY.ID - Di antara gemuruh dedaunan dan bisikan angin lembah Binaiya, nama Firdaus Ahmad Fauzi kini tinggal kenangan yang menggetarkan dada.
Pemuda 27 tahun asal Bogor itu datang dengan semangat menaklukkan alam Pulau Seram- Maluku, tapi justru berpulang dalam pelukan sunyi gunung Binaiya, sendirian di belantara.
Tanggal 26 April 2025, sekitar pukul 17.30 WIT, menjadi detik perpisahan yang tragis, di saat hujan menyapa rimba, kabut selimuti pepohonan, dan angin gunung membawa bau tanah.
Firdaus terpisah dari rombongan saat perjalanan turun dari puncak Binaiya - gunung tertinggi di Maluku, juga salah satu yang paling liar.
Sejak saat itu, ia bertahan hidup di rimba belantara, tersesat selama 20 hari tanpa bekal makanan, hanya berbekal sebotol air dan senter kepala.
Dunia luar mencarinya. Tim SAR dan relawan pecinta alam Maluku menyisir lereng dan lembah, menyusuri jejak samar yang ditinggalkannya.
Tapi hutan Binaiya bukan sembarang hutan. Ia menyimpan sunyi yang tak bisa ditebak, dan menyembunyikan Firdaus dalam dekapan lembab-nya.
Firdaus akhirnya hembuskan nafas terakhirnya dalam sunyi. Di hutan purba Binaiya. Sendirian. Jenazahnya ditemukan di Lemba Terjun Aimoto sebuah lembah di jalur pendakian Binaiya yang terbilang ekstrim.
Tak ada yang mengenalnya di Maluku, tapi kabar kepergiannya menampar nurani kami. Ini bukan hanya tentang pendaki yang gugur, tapi tentang seorang anak muda yang melawan sepi, lapar, dan dingin hanya dengan nyala kecil di kepala dan harapan di dada.
Firdaus bukan siapa-siapa bagi kami, namun kepergiannya menyisakan duka yang tak asing. Ia bisa saja saudara kita, sahabat kita, anak dari seorang ibu yang kini mungkin duduk diam di teras rumah Bogor, menatap kosong ke arah langit.
Gunung selalu menyimpan kisah. Tapi kali ini, Binaiya menyimpan luka. Ia menambahkan nama Firdaus ke daftar mereka yang pergi terlalu dini, yang gugur bukan karena lemah, tapi karena terlalu berani mencintai alam, hingga rela menyerahkan napas terakhir di pelukannya.
Semoga jejak-jejakmu di batu dan lumut Binaiya menjadi saksi keberanian, bukan tragedi.
Oleh Afdal Namakule, Editor Disway Maluku