Pemuda Ini Tolak Tawaran Rp15 Triliun dari Mark Zuckerberg untuk Gabung Meta

Andrew Tulloch--
DISWAY.D - Nama Andrew Tulloch mendadak ramai diperbincangkan di dunia teknologi setelah menolak tawaran senilai US$1 miliar (sekitar Rp15,5 triliun) dari Mark Zuckerberg. CEO Meta itu dikabarkan ingin merekrut Tulloch untuk bergabung dengan perusahaannya, namun upaya tersebut berujung penolakan. Tulloch lebih memilih fokus membangun startup miliknya sendiri.
Melansir laporan dari Daily Mail, Tulloch adalah lulusan terbaik University of Sydney dan pernah menjabat sebagai insinyur senior di divisi AI Facebook. Kini, ia mendirikan startup bernama Thinking Machines Lab bersama mantan Chief Technology Officer (CTO) OpenAI, Mira Murati. Meskipun baru berdiri sejak Februari 2025, perusahaan rintisan ini telah mencapai valuasi sekitar US$12 miliar atau sekitar Rp186 triliun.
Wall Street Journal mengungkapkan bahwa Meta sebelumnya sempat mencoba mengakuisisi Thinking Machines Lab. Setelah proposal pembelian ditolak Murati, Meta beralih strategi dengan mendekati beberapa tokoh penting di startup tersebut termasuk Tulloch. Ia kemudian ditawari paket kompensasi jumbo senilai US$1 miliar untuk masa kerja enam tahun, termasuk bonus dan saham.
Namun, tawaran fantastis tersebut ditolak Tulloch yang saat ini bermukim di San Francisco, California. Menanggapi kabar tersebut, pihak Meta membantah nilai tawaran yang disebutkan dalam laporan media.
“Angka yang dikabarkan itu tidak akurat dan menggelikan,” ujar perwakilan Meta.
Karier Tulloch Bersinar Sejak Muda
Tulloch lahir dan besar di Perth, Australia Barat. Sejak masa sekolah, ia sudah menunjukkan prestasi gemilang sebagai wakil kapten di Christ Church Grammar School dan meraih skor ATAR sempurna 99,95 pada tahun 2007. Ia kemudian melanjutkan pendidikan ke University of Sydney dan lulus sebagai sarjana matematika dengan predikat kehormatan kelas satu serta menerima medali universitas pada 2011. Ia juga menyabet Joye Prize, penghargaan untuk mahasiswa matematika terbaik.
Setelah itu, ia menempuh pendidikan di University of Cambridge, Inggris, dan lulus cum laude di bidang matematika. Selama masa studi, ia sempat bekerja sebagai analis kuantitatif di Goldman Sachs. Gelar masternya ia raih di bidang statistik matematika dan pembelajaran mesin, yang menjadi awal dari perjalanannya di ranah kecerdasan buatan.
Tulloch kemudian bergabung dengan Facebook pada 2012 dan mengabdi selama 11 tahun sebelum pindah ke OpenAI pada 2023.
Visi Thinking Machines Lab: AI yang Transparan dan Bisa Diakses
Thinking Machines Lab didirikan dengan misi besar, mengembangkan sistem AI yang transparan, fleksibel, dan mampu bekerja secara multimoda, yaitu memproses teks, suara, serta gambar secara simultan. Beberapa bagian dari teknologi yang dikembangkan akan dibuka dalam format open source untuk mendorong kolaborasi global dan meningkatkan transparansi.
Perusahaan ini kini diperkuat oleh sekitar 50 anggota tim dan telah memperoleh pendanaan awal sebesar US$2 miliar (sekitar Rp31 triliun). Sejumlah investor besar mendukungnya, termasuk Andreessen Horowitz, Accel, Jane Street, Nvidia, AMD, dan Cisco. Bahkan pemerintah Albania turut berinvestasi sebesar US$10 juta atau setara Rp155 miliar.
Selain Tulloch dan Murati, startup ini juga dihuni nama-nama besar seperti John Schulman, pendiri OpenAI, dan pakar keamanan AI, Lilian Weng.
Meta Kesulitan Rekrut Talenta AI
Bukan sekali ini Meta berusaha merekrut talenta terbaik dari pesaingnya. Pada Juni lalu, CEO OpenAI Sam Altman mengungkapkan bahwa perusahaannya pernah menjadi sasaran rayuan Meta dengan tawaran bonus hingga US$100 juta (sekitar Rp1,55 triliun) kepada staf mereka.
“Saya sangat senang setidaknya sejauh ini belum ada orang terbaik kami yang memutuskan untuk menerima tawaran itu,” ungkap Altman.
Dalam beberapa bulan terakhir, Meta juga disebut mendekati sekitar 12 staf Thinking Machines Lab, namun semua tawaran tersebut ditolak. Tulloch dan timnya tetap berkomitmen untuk membangun teknologi AI yang tidak hanya canggih, tetapi juga aman dan etis.
Sumber: